Kesetaraan Gender dalam Kepemiluan Langka Serius atau Kepura-puraan
Oleh : Bendum MD Forhati Minahasa Gilang Joesi Sapoetri
Kesetaraan gender merupakan salah satu hak asasi kita sebagai manusia. Hak untuk hidup secara terhormat, bebas dari rasa ketakutan dan bebas menentukan pilihan hidup tidak hanya diperuntukan bagi laki-laki, perempuan pun mempunyai hak yang sama pada hakikatnya. Sosok perempuan yang berprestasi dan bisa menyeimbangkan antara keluarga dan karir menjadi sangat langka ditemukan. Perempuan seringkali takut untuk berkarir, karena tuntutan perannya sebagai menggurus rumah tangga.
Demokrasi mengamanatkan adanya persamaan akses dan peran serta penuh bagi laki-laki maupun perempuan, atas dasar prinsip persamaan derajat dalam semua wilayah dan tataran kehidupan publik, terutama dalam posisi-posisi pengambil keputusan. Representasi politik perempuan merupakan satu elemen penting jika ingin menempatkan konteks demokratisasi Indonesia dalam prespektif demokrasi yang ramah jender ( gender democracy).
Pada dasarnya affirmative action atau memperhatikan keterwakilan minimal 30% perempuan di KPU dan Bawaslu merupakan amanat dari pasal 10 (ayat 11) undang-undang nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum. Dimana affirmative ini merupakan cara yang dipilih negara sebagai jawaban terhadap kondisi sosial yang diskriminatif, adanya ketidaksetaraan dan marginalisasi disegala bidang kehidupan akibat struktur patriarki dilevel publik dan privat. (Hendri Sayuti : 2013).
Dalam kehidupan demokrasi di Indonesia, khusunya dalam pelaksanaan pemilu, kepentingan perempuan sebagai pemilih harus diperhatikan secara matang. Karena pemilih perempuan lebih banyak daripada pemilih laki-laki, seperti pada pelaksanaan pemilu tahun 2019. Dimana jumlah pemilih perempuan lebih banyak, sekitar 126 ribu dibandikan pemilih laki-laki. Jumlah pemilih laki-laki di dalam negeri mencapai 92.802.671 sementara jumlah pemilih perempuan di dalam negeri mencapai 92.929.422. (DPT untuk Pemilu 2019).
Keterwakilan perempuan merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan demokrasi dan politik. Hal tersebut, agar perempuan mampu mengakomodasi dan mengekspresikan kepentingannya secara masif, bukan hanya dalam konteks menyuarakan saja. Namun juga perempuan mampu memiliki akses kebijakan dengan menduduki suatu jabatan publik tertentu, seperti penyelenggara pemilu.
Kedua hal tersebut merupakan bentuk dari pemaknaan keterwakilan politik. sebagaimana yang disebutkan oleh Anne Philips yang menyebukan bahwa, keterwakilan politik terdiri atas dua bentuk, diantaranya politics of idea (politik ide) dan politics of presence (politik kehadiran) (Aisah Putri : 2011).
Berdasarkan hasil riset Puskapol FISIP UI, ada beberapa hambatan yang secara nyata dialami perempuan dan menghalanginya dalam berpartisipatif sebagai penyelenggara pemilu, yaitu;
masalah budaya, pengetahuan, kepemiluan, geografis dan regulasi.
Oleh karena itu, penting adanya untuk mendorong pastisipasi politik perempuan dalam pelaksanaan pemilu dan meningkatkan keterlibatan perempuan sebagai penyelenggara pemilu. Peningkatan keterlibatan perempuan sebagai penyelenggara pemilu adalah bagian dari upaya mendorong partisipatif politik perempuan dan mendorong terwujudnya kesetaraan gender di dalam ruang publik. Keterwakilan perempuan dalam penyelenggara pemilu, diharapkan segala aspek regulasi, tata cara, mekanisme, prosedur penyelenggara pemilu mampu mengakomodasi kepentingan pemilih perempuan. Selain itu keterlibatan perempuan dalam penyelenggara pemilu berpotensi merangkul kelompok-kelompok marginal.
Erat kaitannya dengan hal tersebut, sudah saatnya perempuan mengambil langkah serius, guna mengoptimalkan peranannya di badan politik formal maupun penyelenggara pemilu, melalui pengadaan pelatihan kepemiluan dan penguatan keterampilan perempuan itu sendiri yang dilihat cukup kurang untuk saat ini.
Memberdayakan perempuan dengan dibekali pendidikan dan kemampuan kepemimpinan sebagai pendukung kinerja, penting meningkatkan pendidikan politik bagi perempuan dalam keterlibatannya dalam penyelenggara pemilu maupun sebagai pemilih. Sehingga mereka secara cerdas menyuarakan aspirasi mereka, meningkatkan pemahaman peran perempuan dalam politik, meningkatkan pemahaman dan keterampilan tentang kepemimpinan serta meningkatkan kesadaran kritis terhadap pembangunan berkelanjutan yang berkeadilan gender.